Tentu banyak yang terperangah ketika Jacob Soetoyo bisa mempertemukan
beberapa duta besar negara-negara ‘hiu’ dengan Jokowi dan Megawati.
Siapa sebenarnya Jacob Soetoyo?
Jacob memang lebih dikenal sebagai pengusaha. Tapi, dalam konteks
menjadi fasilitator pertemuan Jokowi-Mega dengan para duta besar
tersebut, tentu kapasitasnya sebagai bagian dari CSIS [Centre for Strategic and International Studies].
Sudah banyak yang tahu bahwa CSIS merupakan lembaga pemikir Orde Baru
yang memberikan masukan strategi ekonomi dan politik pada Soeharto.
Tapi, yang belum banyak diketahaui adalah hubungan CSIS dengan
organisasi fundamentalis Katolik bernama Kasebul [kaderisasi sebulan]
yang didirikan oleh Pater Beek, SJ. Tentang apa dan bagaimana Kasebul
itu, silakan baca tulisan saya di sini: http://tikusmerah.com/?p=1056
Pada awalnya, Kasebul didirikan untuk memerangi komunisme. Setelah
komunisme [PKI] dihancurkan oleh Soeharto, tujuan Kasebul beralih
melawan dominasi Islam. Pater Beek, seorang rohoniawan Jesuit kelahiran
Belanda, melihat bahwa setelah komunis tumpas ada lesser evil [setan
kecil], yaitu: Islam. Untuk menghancurkan setan kecil tersebut, Pater
Beek menganjurkan kaum fundamentalis Katolik dalam Kasebul bekersama
sama dengan Angkatan Darat.
Selain itu, guna menghadapi ancaman Islam perlu dibentuk lembaga
pemikir yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Maka kemudian
dibentuklah CSIS. Pater Beek mempunyai pemikiran sebagaimana diungkapkan
Ricard Tanter:
“Visi [Pater] Beek pibadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan
dalam mengatur negara kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat
untuk bekerja di dalam dan melalui negara.”[1]
Atas visi tersebut maka tugas dibebankan pada CSIS. Lembaga ini
menurut Daniel Dhakidae merupakan penggabungan antara politisi dan
cendekiawan Katolik dengan Angkatan Darat. Lembaga inilah yang kemudian
memasok dan menjaga agar Orde Baru menerapkan negara organik versi
gereja pra konsili Vatikan II.[2]
Siapa sosok yang berperan dalam pendirian CSIS? Sosok tersebut adalah
Ali Moertopo. Selama ini dikenal sebagai kepercayaan Soeharto, tapi
kedekatannya dengan Pater Beek belum banyak terungkap Ali pertamakali
bekerjasama dengan Pater Beek dalam operasi pembebasan Irian Barat.
Berdasarkan catatan Ken Comboy, saat itu tugas Ali sebagai perwira
intelijen.[3] Pada
saat yang bersamaan, Pater Beek juga berada di Irian Barat. Ia menyamar
sebagai guru. Tugas sebenarnya dari Pater Beek adalah menjaga agar
proses pembebasan Irian Barat tetap menguntungkan kepentingan Amerika.
Tugas ini berhasil. Sebagaimana kita ketahui, sampai saat ini Freeport
masih menguasai tambang emas di Papua.
Setelah CSIS berhasil dibentuk oleh Ali Moertopo, tugas pelaksa
harian diserahkan pada 3 kader Kasebul: Jusuf dan Sofian Wanandi serta
Harry Tjan Silalahi. Menurut Mujiburrahman, Jusuf dan Sofian Wanandi
merupakan kader utama Kasebul yang dididik Pater Beek. Sewaktu mahasiswa
dan pergolakan politik tahun 1965, keduanya menjadi bagian penting dari
PMKRI [Pergerakan Mahasiswa Katolik Indonesia]. Sedangkan Harry Tjan
Silalahi kader Kasebul yang ditempatkan di Partai Katolik sebagai
sekretaris jenderal.[4] Tiga orang inilah yang hingga sekarang menahkodai CSIS. Lewat lembaga inilah kebijakan anti Islam dijalankan.
Pater Beek memang piawai dalam usaha menghancurkan Islam. Ia tidak
hanya memakai orang Katolik seperti Jusuf Wanandi dan Harry Tjan untuk
melakukannya, tapi juga memakai orang Islam sendiri. Ali Moertopo,
misalnya, ia tumbuh dari keluarga santri, tetapi lewat CSIS dan Operasi
Khususnya justru mengobok-obok Islam. Sebut nama lain seperti Daoed
Joesoef. Ia seorang muslim asal Sumatera Timur, tapi berhasil digunakan
oleh Pater Beek untuk membuat kebijakan yang merugikan umat Islam.
Sewaktu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ia melarang
sekolah libur pada hari Ramadhan dan siswi yang beragama Islam dilarang
menggunakan jilbab.
Bahkan tidak hanya itu. Kader Pater Beek dalam Kasebul juga dilatih
menyusup dengan pindah agama menjadi Islam. Sebut saja Ajianto Dwi
Nugroho. Sewaktu masih mahasiswa di Fisipol UGM ia berpacaran dengan
mahasiswa IKIP Yogyakarta [sekarang UNY] yang berjilbab. Sekarang ia
menikah dengan janda beranak satu yang beragama Islam. Dan, Ajianto saat
ini mempunyai KTP yang mencantumkan agamanya adalah Islam. Ajianto
merupakan kader Kasebul generasi baru yang masuk dalam lingkaran jasmev
pada era Pilkada DKI untuk memenangkan Jokowi. Sekarang ia bergabung
dalam lingkaran PartaiSocmed dengan target menjadikan Jokowi sebagai
presiden. Itulah kehebatan kader-kader Kasebul dalam menjalankan
misinya.
Nah, kenapa tiba-tiba Jacob Soetoyo muncul? Tentu saja ini berkaitan
dengan persaingan para cukong di lingkaran Jokowi sendiri. Sudah banyak
diketahui, James Riyadi telah mendukung Jokowi sejak awal. Selain
dikenal sebagai pengusaha papan atas, yang belum banyak diketahui, ia
adalah pemeluk fundamentalis Kristen. Ia dikenal sebagai pemeluk Kristen
Evangelis. Di Amerika, aliran ini dikenal radikal dan fundamentalis.
Salah satu pengikutnya adalah adalah keluarga Bush. Sikap anti Islamnya
sudah mendarah daging. Ketika menjadi presiden, George W. Bush
memerintahkan pasukannya untuk membantai ratusan ribu umat Islam di
Afghanistan dan Irak. Inilah yang dianggap sebagai ancaman oleh
fundementalis Katolik dalam lingkaran CSIS. Apalagi James Riyadi secara
atraktif lewat familinya, Taher, mendatangkan Bill Gates ke Indonesia
dengan tujuan agar seolah-olah Jokowi mendapatkan dukungan dari
pengusaha papan atas Amerika Serikat.
Sudah menjadi rahasia umum, walaupun sama-sama memusuhi Islam, antara
fundamentalis Katolik dan fundamentalis Kristen terjadi permusuhan yang
sengit [pandangan mereka yang Islamphobia tentu saja tak mewakili
pandangan mayoritas umat Nasrani di Indonesia yang sebagian besar
menghargai toleransi]. Melihat manuver James Riyadi yang sudah dianggap
kelewatan, maka turun tangalah Jacob mewakili lingkaran CSIS. Rupanya
James melupakan bahwa ada dua jaringan di Indonesia yang mempunyai
hubungan kuat dengan Amerika Serikat: CSIS dan PSI [Partai Sosialis
Indonesia]. Jaringan CSIS pun unjuk taring. Tidak tangung-tangung mereka
mengumpulkan duta besar dari negara berpengaruh antara lain: Amerika
Serikat, China dan Vatikan. Begitu kuatnya pengaruh CSIS sampai-sampai
duta-duta besar tersebut mau berkumpul di rumah Jacob yang tidak dikenal
sebelumnya. Saking berpengaruhnya pula, Megawati, seorang mantan
Presiden RI, bersedia mengikuti skenario CSIS. Di sinilah perang di
antara cukong-cukong pendukung Jokowi antara faksi James Riyadi
[Kristen] dengan faksi Jacob/CSIS/kasebul [Katolik] mulai ditabuh.
Mereka semua melihat bahwa Jokowi akan menang Pilpres sehingga
masing-masing perlu menanamkan pengaruh sejak awal.
Manuver CSIS lewat Jakob ini tentu membuat resah kubu James Riyadi.
Pasca pertemuan tersebut media dalam kendali James Riyadi mulai
mengungkit-ungkit peranan CSIS sebagai lembaga yang pada era Soeharto
ikut mengebiri PDI. Megawati diingatkan tentang fakta itu. Tujuan
akhirnya tentu saja agar Mega dan Jokowi menjauh dari CSIS sehingga
James Riyadi bisa dominan lagi. Tapi jangan sampai dilupakan bahwa kubu
CSIS/Jusuf Wanandi mempunyai koran The Jakarta Post, sebuah koran
berbahasa Inggris yang cukup berwibawa, yang bisa melakukan serangan
balik. Kita tahu sendiri, sekali memberitakan bahwa Puan mengusir Jokowi
dari rumah Megawati, peta politik di internal PDIP berubah dratis. Puan
tiba-tiba hilang, Megawati seperti tak memikirkan lagi koalisi, dan
Jokowi seperti anak kehilangan induk, ke sana-kemari mencari teman
koalisi.
Tapi, jangan dilupakan faksi Partai Sosialis Indonesia [PSI]. Partai
yang didirikan Sutan Sjahrir pada era Seokarno ini memang sudah tak ada,
tapi kadernya sampai saat ini masih bergentanyangan. Tokoh-tokoh PSI
seperti Goenawan Mohamad terang-terangan sudah mendukung Jokowi. Ia
menggunakan jaringan-jaringan yang dimilikinya seperti Jaringan Islam
Liberal [JIL], Tempo grup sampai orang-orang Kiri yang berhasil
dikadernya seperti Coen Husein Pontoh dan Margiyono—dulu anggota PRD
yang kemudian murtad dengan mendirikan Perhimpunan Demokratik Sosialis
[PDS]; PDS ini pendiriannya tidak bisa dilepaskan dari sosok Goenawan
Mohamad; pendeklarasian organisasi ini dilakukan di Teater Utan Kayu
[TUK]—yang sekarang melakukan manipulasi-manipulasi terhadap ajaran
Marxisme agar bisa dijadikan dalih untuk mendukung Jokowi. Semua itu
satu komando untuk mendukung Jokowi.
Selain Goenawan, ada faksi PSI yang dikomandoi oleh Jakob Oetama dengan kelompok Kompas-nya.
Mereka mempunyai media nasional yang sudah sejak lama telah menggoreng
Jokowi lewat pemberitaan-pemberitaannya. Sebagai sesama Katolik, Kompas
grup tentu bisa bekerjasama dengan kubu CSIS. Mereka sama-sama pernah
dididik oleh Pater Beek. Bahu membahu antara keduanya tentu saja akan
menghasilkan kekuatan yang besar dengan jaringan media yang sudah
mengakar kuat.
Dari lingkaran PSI lainnya ada Yamin. Ia salah satu yang membidani
kelahiran Seknas Jokowi. Sewaktu mahasiswa pada tahun 80-an, ia aktif di
kelompok kiri Rode yang berada di Yogyakarta. Ia dekat dekat dengan
tokoh PSI Yogyakarta, Imam Yudhotomo. Yamin disokong aktivis kiri era
80-an, Hilmar Farid. Ia dulu pernah terlibat dalam masa-masa pembentukan
PRD. Mantan istrinya, Gusti Agung Putri Astrid, merupakan kader Kasebul
yang banyak terlibat dengan aksi-aksi sosial pada era 90-an; ia
sekarang menjadi caleg PDIP dari dapil Bali. Peran Hilmar adalah sebagai
perumus strategi yang perlu diambil Seknas Jokowi menghadapi Pilpres.
Faksi PSI lainnya ada Fajroel Rachman. Ia dulu dikenal sebagai
aktivis mahasiswa ITB. Ia dekat dengan tokoh PSI zaman Orde Lama,
Soebadio Sastrosastomo. Kelompok Fajroel ini sebetulnya yang paling
lemah karena tidak mempunyai koneksi apa-apa. Makanya ia hanya bergerak
di media sosial saja dengan mengandalkan jumlah follower di akun twitternya.
Di antara faksi-faksi PSI tersebut, yang mempunyai hubungan kuat
dengan Amerika Serikat adalah faksi Goenawan Mohamad. Sebagaimana
ditulis oleh Wijaya Herlambang, Goenawan adalah agen CIA yang sudah
dipekerjakan sejak akhir era Soekarno. Begitu kuatnya hubungan Goenawan
dengan Amerika bisa dilihat ketika ia kalah dalam sengketa dengan
pengusaha Tomy Winata, Dubes AS turun langsung untuk “mendamaikan” kasus
tersebut agar tidak berlarut-larut. Goenawan pula yang dulu ikut
memuluskan langkah Boediono menjadi wakil presiden. Sebetulnya ia ingin
mendorong Sri Mulyani maju, tapi partai SRI tidak lolos. Goenawan dan
Sri Mulyani memang dekat. Ketika Sri Mulyani diserang Ical dalam kasus
Bank Century sampai akhirnya ia mundur sebagai Menkeu, Goenawan amat
marah sampai-sampai mengembalikan Bakrie Award yang pernah diterimanya.
Silahkan mengobrak-abrik semua analisa politik, tetap saja penyokong
utama Jokowi ada tiga itu: fundamentalis Katolik [CSIS/Kasebul],
fundamentalis Kristen [James Riyadi dkk], dan faksi PSI [Goenawan
Mohamad dkk]. Nah, mengapa mereka turun bersama-sama mendukung Jokowi?
Bangkitnya Islam politik tentu saja dianggap sebagai ancaman.
Sepanjang Pemilu Orde Baru, perolehan suara partai Islam dalam Pemilu
2014 adalah yang terbesar. Suara PKB, PAN, PKS, PPP dan PBB bila
digabungkan mengungguli partai-partai yang lain. Tentu saja yang
dianggap yang paling berbahaya adalah PKS. Sebelum Pemilu, PKS sudah
dikesankan oleh berbagai lembaga survei [termasuk CSIS] tidak akan lolos
ke Senayan. Senyatanya mereka masih memperoleh suara 7 persen—yang bisa
jadi jumlah kursinya bisa menduduki peringkat ke empat di Senayan.
PKS dikenal dengan kader-kadernya dari kalangan kelas menengah.
Kader-kader mereka selain militan juga tidak anti terhadap pendidikan
Barat. Bayak kadernya yang kuliah di Amerika Serikat, Inggris dan Eropa.
Walaupun berpikiran modern, mereka dikenal taat menjalankan ajaran
Islam, baik yang wajib maupun sunnah. Mereka juga dikenal melek
teknologi, berbeda dengan dengan Taliban, misalnya. Inilah yang
menakutkan bagi tiga pendukung Jokowi di atas kalau sampai PKS menjadi
partai yang berkuasa. Oleh sebab itu, oleh kalangan PSI, baik faksi
Goenawan Mohamad maupun faksi Fajroel, PKS yang menjadi sasaran
serangan. Silakan amati sendiri serangan-serangan mereka terhadap PKS di
media sosial. Kadang kala serangan terhadap PKS juga dilancarkan
lingkaran Kasebul di lingkaran PartaiSocmed. Gampang saja, kalau ada
serangan kepada PKS, lihat saja latar belakangnya, pasti akan berkaitan
dengan tiga komponen di atas: fundamentalis Katolik dan Kristen, serta
PSI [ dan orang-orang Kiri yang diperalat tiga penyekong Jokowi
tersebut]
Agar tak menyatu, partai yang berideologi Islam dibuat bimbang.
Para pengamat sudah mulai bekerja dengan berbagai argumentasi bahwa
poros partai-partai Islam sulit untuk diwujudkan. Terutama PKS yang akan
dijadikan target kebimbangan ini. Mereka tak begitu khawatir dengan
PKB, misalnya. Sosok Muhaimin Iskandar sudah dikenal sebagai orang
pragmatis. Gus Dur saja ia khianati, apalagi umat Islam. PAN dan PPP
juga hampir serupa. Sementara PBB suaranya tak signifikan. Tinggal PKS
yang sulit dikendalikan. Apalagi sampai saat ini PKS tak mau
membicarakan koalisi.
Kalau PKS nantinya akan mendukung Prabowo, maka akan diserang
habis-habisan sebagai partai yang menyokong pelanggar HAM berat. Ini
merupakan sasaran tembak yang empuk bagi kalangan PSI untuk menyerang
PKS. Semisal PKS mendukung Ical, maka akan dihantam sebagai partai yang
mendukung partai warisan Orde Baru: Golkar. Sementara itu, bila PKS akan
membentuk poros partai Islam, akan diadu domba dengan sesama partai
Islam. Maka diarahkan PKS untuk mendukung Jokowi. Dukungan ini penting
untuk memperlihatkan bahwa Jokowi yang didukung Amerika lewat tiga
tangannya tadi mendapatkan legitimasi dari partai Islam yang ideologis,
yaitu PKS. Maka oponi pun diarahkan dengan berbagai argumentasi agar PKS
merapat ke Jokowi. Bila jebakan ini berhasil menjerat PKS sehingga
kemudian mendukung Jokowi dan tak berhasil membangun poros sendiri, maka
hanya satu kata:wassalam. Satu benteng itu telah runtuh.
Sebagai penutup, dari semua uraian di atas, Jokowi sebetulnya tidak lebih hanyalah boneka bunraku.
Boneka tersebut dimainkan dalam pertunjukkan sandiwara Jepang untuk
menghibur kalangan bangsawan. Dan, bangsawan-bangsanwan yang terhibur
dengan boneka bunraku bernama Jokowi bila kelak menjadi presiden
adalah: fundamentalis Katolik [CSIS/Kasebul], fundamentalis Kristen
[James Riyadi dkk] dan PSI [Goenawan Mohamad dkk]—yang ketiganya
merupakan kaki tangan ndoro-ndoro di Amerika Serikat sana.
Pertanyaannya: apakah kita akan memilih boneka bunraku untuk memimpin 250 juta lebih penduduk Indonesia?***
*] Sebagian bahan tulisan ini diambil dari buku saya: Pater Beek, Freemason dan CIA
**] Penulis tinggal di Malang, Jawa Timur.
Source: Tikus Merah