Home with right posts

Berita Papua

Slider right list post

Berita Internasional

PEMBUNUHAN 5 REMAJA PAPUA DAN HUBUNGANNYA DENGAN MODAL ASING [FREEPORT]--Bagian 1

Ismantoro Dwi Yuwono

Ditulis Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono

Pada 8 Desember 2014, tepatnya pada pukul 10.00 WIT (Waktu Indonesia Bagian Timur), Senin pagi, terjadi tindakan brutal yang dilakukan oleh aparat gabungan Polri (Polisi Republik Indonesia) dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) di Kota Enarotali, Kabupaten Paniai. Aparat gabungan ini dengan membabi buta menembaki rakyat Papua yang tidak bersenjata, yang berusaha ingin berdialog dengan mereka.

Akibat dari aksi brutal dua aparat gabungan tersebut 4 orang tewas seketika, disusul 5 jam kemudian 1 orang yang dibawa lari ke rumah sakit (RSUD [Rumah Sakit Umum Daerah] Madi-Papua) oleh penduduk setempat, karena tertembak di bagian perutnya, tewas. Dokter di rumah sakit tersebut tidak dapat menolong Abai Gobai dari kematian yang mengerikan yang disebabkan oleh perutnya yang robek dan peluru yang bersarang di dalamnya.

Berikut ini adalah nama-nama rakyat Papua yang mati karena kebrutalan aparat gabungan tersebut:



Aksi brutal yang dilakukan dua aparat gabungan tersebut berawal dari aksi ugal-ugalan aparat TNI yang mengendarai sebuah mobil dan tidak menyalakan lampu di malam hari. Ketika mobil itu melintas di pondok natal, yang berlokasi di kogekotu, paniai (Jalan Raya Enarotali-Madi) mobil tersebut diberhentikan oleh tiga orang remaja yang sedang berjaga-jaga di pondok natal tersebut. Mereka menghentikan dan menahan mobil tersebut hanya untuk menyarankan kepada pengendaranya agar lampu mobil dinyalakan agar tidak terjadi kecelakaan.

Ditegur seperti itu si pengendara bukannya merespon dengan baik, tetapi malah kembali ke Markas TNI di Kota Madi. Dari sana si pengendara mengajak teman-teman TNI-nya kembali ke tempat mobil itu diberhentikan, di Tokoguto, dan tempat mobil itu ditahan.

Gerombolan TNI tersebut kemudian mengejar 3 remaja Papua berusia belasan tahun, yang telah dengan lancang menghentikan mobil yang dikendarai oleh tentara tersebut. Satu orang tertangkap, dikeroyok, digebuki dan di injak-injak hinga babak belur dan pingsan. Remaja yang telah pingsan ini kemudian dilarikan oleh warga ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan medis.

Pada pagi harinya masyarakat berkumpul di lapangan Gobay, Pinai, Papua, untuk berdialog dan meminta pertanggungjawaban aparat yang telah menganiaya hingga pingsan remaja itu. Namun belum sempat mereka melakukan dialog dengan aparat TNI dan meminta pertanggungjawaban, tiba-tiba saja aparat gabungan TNI-Polri melakukan aksi brutal. Menembaki rakyat Papua yang sedang berkumpul pada waktu itu. Dari aksi brutal tersebut, sebagaimana telah penulis tunjukan di muka, 5 orang tewas, dan semuanya adalah anak remaja, dan 13 orang lainnya dilarikan ke rumah sakit karena keadaannya yang sangat kritis. Ada pun TNI yang telah melakukan aksi brutal tersebut berasal dari kesatuan TNI 753 Batalyon wilayah Nabire.

Berita tentang pembunuhan rakyat Papua oleh TNI-Polri itu pun menyebar bagaikan gelombang siaran radio dari satu frekuensi ke frekuensi lainnya, memicu ribuan rakyat Papua berkumpul dan menyemut di lapangan karel Gobay. Lapangan yang bersebelahan dengan Komando Rayon Militer (Koramil) Paniai Timur-Papua.

Ribuan rakyat Papua itu berkumpul untuk meminta pertanggungjawaban dari Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) dan Pangdam (Panglima Daerah Militer). Mereka meminta Polda dan Pangdam Papua datang ke tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengubur ke-4 orang Papua yang tewas (1 orang yang tewas telah dikubur oleh keluarganya) dan menyeret ke jalur hukum tentara dan polisi yang telah melakukan pembunuhan. Massa meminta pelaku dihukum seberat-beratnya.

Ke-4 jenasah korban penembakan brutal TNI-Polri tersebut dibaringkan berjajar di lapangan karel Gobay oleh massa. Massa tidak akan mengubur ke-4 jenasah tersebut apabila Polda dan Pangdam belum datang untuk mempertanggungjawabkan tindakan brutal itu.

Namun, ketika hingga 10 Desember 2014 Polda dan Pangdam tidak datang untuk bertanggungjawab, ribuan massa itu pun kasihan terhadap jenasah yang dibaringkan tersebut. Dan oleh karena itulah, kemudian massa menguburkan ke-4 jenasah tersebut. Korban dikubur tepat di depan Kantor Komando Rayon Militer (Kodam) Paniai Timur, yang bersebelahan dengan lapangan karel Gobay. Tepat di bawah tiang bendera merah putih. Ribuan massa itu sangat menyesali ketidakdatangan Polda dan Kodam.

Sementara itu pada 19 Desember 2014 Front Mahasiswa Papua Jogjakarta (FMPJ) melakukan aksi demonstrasi di depan bundaran UGM (Universitas Gadjah Mada). Dalam orasinya Mahasiswa meminta Presiden Joko Widodo bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilkukan oleh TNI-Polri di Paniai-Papua. Mereka menagih janji Joko Widodo yang diucapkannya sebelum dia menjadi Presiden Republik Kapitalis Indonesia. Saat itu Joko Widodo pernah berjanji, bahwa seandainya dia menjadi Presiden dia akan menuntaskan berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia. Kini Joko Widodo telah benar-benar menjadi Presiden, dan oleh karena itulah saatnya Joko Widodo merealisasikan janji yang pernah diucapkannya.

Saat FMPJ melakukan aksi aparat polisi yang berjaga di lokasi itu melakukan provokasi dengan mengejek pendemo dengan berteriak-teriak menirukan bahasa khas Papua. Tindakan rasis polisi tersebut dibarengi dengan menyerang para pendemo dengan tameng dan tongkat kayu, sehingga terjadi keributan.

Ejekan bernada rasis tersebut tidak dihiraukan oleh pendemo, mereka tetap berdemonstrasi, berorasi meminta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia untuk menuntaskan pelanggaran HAM di Papua yang telah menewaskan 5 orang remaja-rakyat Papua.

Massa yang kesal diprovokasi oleh polisi, melampiaskan kekesalannya dengan cara membakar ban kendaraan bermotor. Dan ketika itulah polisi meminta paksa para pendemo untuk membuka jalan yang diblokir sambil memadamkan api dan menyerang pendemo dengan bogem mentah (tinju tangan kosong) dan tongkat kayu.

Setelah keributan usai, massa aksi terus dilanjutkan. Dalam orasi massa menambahkan tuntutan bahwa aparat kepolisian harus menghormati kebebasan berpendapatan karena itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari penegakan hak asasi manusia (HAM) itu sendiri.

“45 tahun lebih kami mencoba untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia namun yang kami dapat malah pelanggaran HAM! Kami cuma ingin bertemu dengan Pak Presiden Jokowi dan menuntut apa yang dijanjikan di masa kampanye!” teriak salah satu massa aksi.

Tidak hanya rakyat di Papua dan mahasiswa-mahasiswa Papua di Yogyakarta, berbagai lembaga yang menilai pelanggaran HAM oleh TNI-Polri adalah sebuah kejahatan meminta pemerintah Indoensia bertanggungjawab terhadap hal itu. Salah tuntutan mereka adalah Joko Widodo diminta untuk segera membentuk tim penyelidik untuk melakukan pengusutan terhadap pelanggaran HAM tersebut.

Diantara lembaga-lembaga yang menuntut terhadap pengusutan pelanggaran HAM tersebut adalah lembaga Amnesty Internasional (AI). Lembaga HAM internasional ini bermarkas di London. Lembaga ini meminta agar pemerintah Indonesia segera menyelidi penggunaan aparat keamanan yang mematikan di Kabupaten Paniai, Papua, yang menyebabkan 5 orang warga sipil tewas.

Amnesty Internasional juga meminta dibentuknya tim investigasi yang cepat, independen dan imparsial atas pembunuhan dan penggunaan kekuataan yang berlebihan oleh aparat keamanan Indonesia di Paniai.

Beberapa insiden yang menurut Amnesty Internasional belum dilakukan pertanggung jawababn, yakni, pembunuhan tiga warga Papua di Kongres Rakyat Papua III (Oktober 2011), saat pemogokan tambang di Timika (Oktober 2011), dan saat pertemuan agama di Sorong (Mei 2013) atau pembunuhan aktivis politik Mako Tabuni (Juni 2013).

Selain Amesty Internasional ada sejumlah organisasi yang menuntut hal yang sama pada pemerintah Indonesia, seperti Expo Waena, Gapura Universitas Cendrawasih, dan Kampus Umel Mandiri. Beberapa komponen lembaga yang tergabung dalam aksi kali ini adalah Jaringan Perempuan Papua, Mahasiswa Papua Peduli HAM, KontraS, BUK Papua, SKPKC Fansiskan Papua, Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Forum Independen Mahasiswa (FIM), Garda-P, dan Baptis Papua. Berbagai organisasi pro-terhadap penegakan HAM ini melakukan aksi massa di depan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), mendesak DPRP pro-aktif dalam menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM di Papua.

“Kasus Wasior 2001 dan Wamena Berdarah 2003 yang sudah dilakukan investigasi secara independen oleh Komnas HAM saja masih tertahan di Kejaksaan Agung, apalagi kasus-kasus HAM lainnya. Kami pesimis dengan kebijakan Negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua,” kata Pilipus Rohaba (koordinator aksi).

Walau pun rakyat Papua dan berbagai organisasi tersebut mengencangkan suara bahwa pelanggaran HAM telah menewaskan 5 remaja Papua tersebut adalah TNI-Polri, namun pemerintah Indonesia berusaha untuk menolak kenyataan itu, dan menuding bahwa penembakan itu dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukan oleh TNI-Polri. Ironis!

Lebih parahnya lagi, wakil presiden Jusuf Kalla, dalam menanggapi pelanggaran HAM di Papua berkomentar, kalau rakyat kena tembak dianggap melanggar HAM, tetapi kalau TNI-Polri yang kena tembak tidak melanggar HAM seperti yang sering terjadi di Papua. Jusuf Kalla juga mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sebenarnya berakar pada lemahnya produktifitas rakyat Papua dan gaya hidup konsumtif rakyat Papua. Dan oleh karena itulah, untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan di Papua, rakyat Papua harus meningkatkan produktifitas dan menekan gaya hidup konsumtif.

Argumen dari Jusuf Kalla tersebut menunjukan bahwa dia membuta terhadap kenyataan yang tengah terjadi di Papua. Tampaknya dia tidak berpikir bahwa untuk meningkatkan produktifitas butuh biaya dan perhatian dari pemerintah Indonesia, sedangkan selama ini rakyat Papua selama bertahun-tahun telah dimiskinkan oleh pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakannya yang pro-terhadap modal asing dan abai terhadap kesejahteraan rakyat, khususnya rakyat Papua.

Produktifitas yang dimaksud oleh Jusuf Kalla, tentu saja, dalam pengertian kerangka teori pembangunan yang bertumpu pada ketergantungan terhadap modal asing. Dengan demikian, Jusuf Kalla tampaknya mengarahkan rakyat Papua untuk mengamini keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di tanah Papua, salah satunya yang terbesar adalah Freeport McMoran Copper & Gold. Dari argumentasinya tersebut, terselip pesan secara implisit, bahwa hendaknya rakyat Papua mempersiapkan diri apabila sewaktu-waktu perusahaan asing, diantaranya Freeport, membutuhkan buruh-buruh murah, siap bekerja dengan baik dan berkualitas untuk kepentingan proses akumulasi kapital yang dilakukan oleh modal asing.

Jusuf Kalla lupa kalau selama ini pemerintah Indonesia tidak care (abai) terhadap kesejahteraan rakyat Papua. Pemerintah hanya care (perduli) pada kepentingan pemodal asing di tanah Papua dan menindas rakyat Papua, baik melalui tindakan represifnya melalui TNI-Polri maupun pemiskinan secarat terstruktur. Bagaimana mungkin rakyat Papua bergaya hidup konsumtif, kecuali para elitenya, apabila hidup mereka sengsara, kelaparan dan kurang gizi.

Permasalahan pelanggaran HAM di tanah Papua oleh TNI-Polri benar berakar pada permasalah ekonomi, tapi bukan permasalahan sebagaimana yang disampaikan oleh Jusuf Kalla, tetapi permasalahan ekonomi-politik yang bersifat struktural dimana modal asing dan sepak terjang kapitalis di tanah Papualah yang merupakan aktor utamanya. Kemunculan OPM dan berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI-Polri berakar dari sini.

Sejarah pertambangan Freeport di tanah Papua mencatat. Untuk mengamankan kepentingan modalnya Freeport tidak segan-segan membayar mahal TNI-Polri untuk menindas buruh-buruh dan rakyat Papua meminta keadilan terhadap beroperasinya perusahaan pertambangan tambaga dan emas itu. Tidak tanggung-tanggung 300 juta digelontorkan oleh Freeport untuk jasa keamanan dari TNI-Polri setiap bulannya. ICW (Indonesia Corruption Watch) bahkan mencatat, Freeport membayar jasa kemanan untuk kepolisian dan TNI sebesar 79,1 juta dolar AS atau sekitar Rp. 711 miliar, selama tahun 2001-2010. Bahkan Freeport meminta kepada pemerintah Indonesia untuk semakin memperkuat keamanan modal dengan cara menambah jumlah TNI-Polri di tanah Papua.

Berbagai cara yang digunakan oleh TNI-Polri untuk mengamankan kepentingan modal Freeport, dari menindas aksi-aksi massa yang dilakukan oleh buruh sampai pada menunjukkan kekuatan militer kepada rakyat Papua. Dengan menunjukkan kekuatan pada rakyat Papua, TNI-Polri berharap rakyat Papua takut dalam menuntut keadilan terhadap sepak terjang Freeport yang merugikan masyarakat Papua.

BERSAMBUNG

Sumber: Facebook

0 Response to "PEMBUNUHAN 5 REMAJA PAPUA DAN HUBUNGANNYA DENGAN MODAL ASING [FREEPORT]--Bagian 1"

Post a Comment

wdcfawqafwef

Suara Mahasiswa