Papua terkenal sebagai pulau yang indah dengan kekayaan alam yang melimpah. Papua menyimpan beribu misteri. Kekayaan alam Papua sangat terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia. Dalam sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Franky Sahilatu dan Edo Kondologi yang berjudul “AKU PAPUA” Papua dikatakan sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Namun, dibalik keindahan pesona alam buminya Papua juga menyimpan beribu misteri, tersimpan pula ingatan penderitaan yang tak pernah terungkap dan belum sepenuhnya dikenal dunia.
Sejak tahun 1963 setelah penurunan bendera PBB dan Indonesia diberikan kewenangan untuk menyiapkan referendum di Papua yang dikenal dengan sebutan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) melalui Perjanjian New York (New York Agreemant) antara Indonesia dan Belanda di meja perundingan.
Selama di bawah kewenangan Indonesia, banyak kejahatan di luar batas kemanusiaan yang dilakukan Indonesia. Menurut beberapa saksi, sebelum dilaksanakan sidang PEPERA telah terjadi penyelewengan terhadap Orang Asli Papua. Pelanggaran HAM terjadi hampir di seluruh pelosok tanah Papua demi menggabungkan Papua dengan Indonesia.
Menurut Dr. Siegfried Zollner seorang misionaris dan ahli budaya dan Bahasa Suku Adat Yali, dalam Laporan Ketiga Hak Asasi Manusia dan Perdamaian untuk Papua, yang dirilis oleh International Coalition for Papua (ICP), sejak awal Indonesia hadir di bumi Papua, Orang Asli Papua dianggap musuh negara dan dijadikan warga negara kelas kedua oleh pemerintah Indonesia. Semenjak peralihan kekuasaan ke tangan Indonesia, kekerasan terus terjadi. Terus terdengar di telinga Dr. Siegfried Zollner desas-desus penjara militer yang terletak di bukit Ifar. Ribuan rakyat terus diancam dan diintimidasi oleh pemerintah Indonesia.
Bapak Elias Yos Moiwend yang pada saat itu membantu Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mensosialisasikan pelaksanaan PEPERA di Merauke, Sangat menyayangkan tindakan Indonesia setelah diketahui bahwa Indonesia memasukkan Papua ke dalam Indonesia hanya karena Sumber Daya Alamnya bukan karena Sumber Daya Manusia yang ada.
Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh Orang Asli Papua yang menolak Indonesia mulai bermunculan untuk melawan segala kekerasan yang terus-menerus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Gerakan ini yang setelah dua tahun kemudian disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM) oleh pemerintah Indonesia. Rakyat Papua selama masa persiapan PEPERA sampai saat ini tidak pernah dianggap sebagai manusia. Rakyat Papua yang terus dikesampingkan di atas tanah leluhur mereka sendiri.
Pada tahun 1998 setelah dilengserkannya soeharto dari jabatannya sebagai Persiden Indonesia, era orde baru masa di mana rakyat Papua dibantai habis-habisan diubah menjadi era reformasi mulai muncul titik terang terlihat sedikit perubahan.
Tepatnya pada tahun 2001, Otonomi khusus diberikan kepada Papua setelah tim seratus utusan rakyat Papua dikirim ke Jakarta untuk melakukan dialog. Namun, aturan yang ditetapkan di dalam UU Otonomi Khusus tidak dipratekkan sesuai dengan UU dan kesepakatan yang diatur. Pembunuhan misterius pun terus berlanjut. Pembunuhan dan penangkapan terhadap aktivis Papua terus terjadi di era reformasi, era yang menjunjung tinggi kebebasan berkumpul, berorganisasi, sampai kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.
Tahun 2001 Rakyat Papua kembali dikejutkan dengan kematian seorang tokoh besar Papua Teys Hiyo Eluay. Otonomi Khusus tidak berjalan baik setelah kepergian Teys Eluay. Tahun 2011 Seorang pemimpin Komite Nasional Papua Barat (KNPB) kembali ditembak mati oleh pemerintah Indonesia. Bukan hanya penangkapan, penyiksaan, dan pemenjarahan tetapi ketidakadilan diberbagai bidang pun terus dipraktikkan.
Di tahun 2013 banyak anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang dianiaya, dipenjarakan, dan bahkan sampai dibunuh oleh militer Indonesia hanya karena melakukan aksi damai menuntut referendum ulang di Papua. Di tahun yang sama dua orang pemimpin gerakan Internasional Parlemen for West Papua (IPWP) Buchtar Tabuni dan juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wim Rocky Medlama dimasukan dalam daftar pencarian Orang (DPO).
Sampai saat ini ribuan rakyat dikejar, diteror, diintimidasi, dan dibunuh. Rakyat Papua pun miskin di atas emas, tersiksa di atas tanahnya sendiri, mati di dalam kediamannya sendiri. Dan konflik di Papua terus dan akan terus terjadi. Konflik itu tidak akan pernah diredahkan oleh siapa pun, kecuali Papua dan Indonesia terlepas. Karena konflik itu berembrio dari kebencian yang mandalam baik dari rakya Papua, maupun dari masyarakat Indonesia sejak awal kedatangan Indonesia di Papua. Terlebih lagi kedatangan Indonesia bukan karena Sumber Daya Manusianya, tetapi Sumber Daya Alamnya.
Oleh: Robinh Hugo C. A.
0 Response to "Konflik di Papua Berembrio dari Sejarah Aneksasi Papua "
Post a Comment