Pembaca yang budiman, kita tahu bersama bahwa Perguruan Tinggi didirikan bukan untuk uang atau mencari kekuasaan, melainkan demi intelektualitas yang esensinya adalah kekebasan berpikir, di mana ruang untuk para intelektualnya berpikir jernih. Dengan kata lain, kampus adalah mimbar bebas bagi kaum pembelajar menuju kaum terpelajar. Yang berdiri dan berjalan seiringan dengan penderitaan rakyat akar rumput, karena kampus adalah corongnya masyarakat.
Namun melihat kehidupan masyarakat kampus sebagai masyarakat terdidik dalam membela masyarakat kecil di kota Sorong saat ini sangat menyedihkan dan sungguh sangat ironis, karena telah muncul tendensi-tendensi tertentu yang sudah mencampuri urusan kampus. Salah satunya adalah konteks menyongsong Pemilu atau Pilcaleg 2014 yang menjadi perhatian penulis.
Kampus di kota Sorong hampir sudah tidak lagi menjadi mimbar bebas. Kampus sudah jadi corong pemerintah. Kampus sudah lacurkan intelektual. Yang kita takuti, jangan sampai Perguruan Tinggi sebagai otoritas intelektual, ikut berekspansi ke pasar, bahkan mendorong komersialisasi penididikan, dalam mengikuti dikte kepentingan politik, penguasa maupun pemodalnya sendiri, sehingga transaksi gelap kekuasaan bukan tidak mungkin akan terjadi dengan bebas antara pemodal, pemerintah, politisi bersama akademisi serta aktivisnya pun terjun dalam kongkalikong dan pelacuran intelektual. Mahasiswa terlibat dalam politik hanya sebagai anjing penjaga.
Mau bukti? Lihat saja ada banyak akademisi yang terjun bebas jadi politikus. Ini menunjukkan bahwa jika tidak hati-hati, kampus jelas kelak kehilangan arahnya. Entah kampus dipolitisi atau politisikan kampus, namun yang penulis lihat adalah hal ini akan menjadi ancaman serius jika tidak dilawan oleh aktivis kampus itu sendiri.
Fakta iklim komersialisasi kampus membuat kampus lebih banyak melayani pasar dari pada melakukan inofasi kreatif, kajian, penelitian, tentang hal-hal positif bagi kepentingan masyarakat kecil dan kampus lupa akan panggilan pengabdiannya bagi masyarakat, membuat masyarakat kecil tidak berguna. Masyarakat kecil baru berguna ketika memasuki tahun politik, mereka dihargai dengan ratusan ribu, dihargai dengan beras Bulog perkarung dan indomie, dihargai dengan kalender, payung serta baju-baju partai.
Jelas memalukan bagi masyarakat kampus (akademisi dan aktivis) yang kurang mengontrol ini dengan pendidikan politik, berbasis pengabdian masyarakat. Atau memang kita jangan heran karena hal yang memalukan bagi mahasiswa adalah membiarkan praktek korupsi dan jaringan lingkaran setannya hidup juga di dalam kampus mereka, bahkan koruptor-koruptor besar ada di lingkungan mereka. Namun toh, tetap mereka diam seribu bahasa. Bagaimana mungkin mau jadi pahlawan bagi masyarakat kecil?.
Sangat mengerikan, karena akan membuat bias ke kehidupan yang lain yang barang tentu membuat sikap optimisme masyarakat kampus, menjadi suam bahkan mati suri, toh Golput meningkat di kalangan masyarakat kecil, itu belum termasuk kalangan kampus, jelas ini problem baru bahwa perguruan tinggi di kota Sorong. Dimana mereka telah ikut memberikan andil dalam membiarkan status quo (kekuasaan) kota Sorong ke dalam suatu proses pembiaran yang menuju kehidupan politik yang carut marut.
Padahal dalam filsafat ilmu suatu kesimpulan pernyataan yang dijabarkan harus memenuhi kriteria logis dan telah diuji secara empiris, lalu dianggap benar secara ilmiah. Apa memang semua dinamika politik di kota Sorong, sudah buat logika masyarakat kampus sebengkok itu?
Jelas bahaya, ketika logika mahasiswa sudah dijungkir balik dengan hal-hal yang bukan ilmiah, maka banyak mahasiswa tidak bisa membaca fenomena sosial dan dinamika politik, serta tidak bisa membaca dengan nalar yang sehat, dan pembelokan realitas sudah menjadi konsekuensi logis. Artinya, mereka tidak perlu sekolah mahal-mahal kalau akhirnya jalan pikiran pun sama dengan masyarakat kecil.
Karena iklim demokrasi dan intelektual masyarakat kampus rapuh, maka seluruh kehidupan masyarakat dan bangsa di sekelilingnya siap terguncang dan terancam. Kalau orang pintar (masyarakat kampus) sudah tersesat, siapa lagi yang mau menolong dan menunjuk jalan bagi orang bodoh (masyarakat marginal) di kota Sorong?. Karena mahasiswa sudah kurang kritis sebagai kelompok penekan bersama-sama rakyat.
Ingat: "Rakyat tidak pernah salah kalau rakyat kecil miskin, bodoh, kelaparan, mabuk, dan tidak mampu yang salah bukan masyarakat, melainkan pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif) sebaga pemegang kekuasaan atas masyarakat. Negara dan para pejabatnya yang salah apabila tidak becus memberikan ketenangan hidup, apalagi menjamin masa depan rakyatnya." (Jakob Sumarjo, 2013, hal 7).
Melawan Lupa
Persoalan politik di kota Sorong dalam kontek pendidikan politik kian tidak jelas, yang ada politik memberi ketidakpastian. Lihat saja peristiwa kebakaran pasar sentral Remu Sorong yang bersamaan dengan Pilgub beberapa tahun lalu, kebakaran di lingkungan pasar Boswesen kota Sorong bersamaan dengan Pilkada kota Sorong, bahkan kerususahan yang ditinggalkan politik kian tidak jelas nasibnya. Lihat saja motif terbakarnya kantor Walikota Sorong beberapa tahun lalu.
Bahkan carut marut akibat politik yang ditinggalkan masih segar dalam ingatan kita, yakni antara korupsi dan sentimen politik di kota Sorong terkait dana Rp5 M untuk pelantikan walikota yang murni memainkan peran sentimen politik adalah beberapa kasus yang harus kita tetap berkaca karena menjadi misteri bagi masyarakat kampus yang semestinya berdiri di garda terdepan untuk mengkritisi.
Terlepas dari wacana apakah komisioner KPU kota Sorong kini adalah kambing piaraan elit-elit tertentu masih harus dibuktikan, namun masyarakat jangan lupa dalam konteks tahun politik kali ini, di tinggkat PPD dan PPS banyak hal tidak beres seperti pendataan pemilih masih mengerikan karena orang mati pun mempunyai hak memilih, barangkali itulah makna demokrasi sesungguhnya.
Bahkan dalam kerja Panitia di tingkat PPD dan PPS, kurangnya kajian akan ancaman transaksi penyebaran jumlah suara pemilih oleh caleg-caleg tertentu dengan melibatkan panitia PPD dan PPS, Kadis, Lurah, RT dan RW untuk memuluskan target mereka sebagai Anggota DPRD kota Sorong adalah hal yang sudah pasti terjadi, toh tetap masih biarkan sebagai suatu kelaziman.
Harapan penulis semoga tahun politik kali ini tidak menjadi tahun yang kelam dalam dunia perpolitikan kita, seperti yang ditakuti oleh pemberitaan RRI Sorong, menilai hasil survei atas realita ini. Maka wajib kita semua bergerak merangkul baik pemerintah, eksekutif, yudikatif, LSM, masyarakat kecil dan yang menjadi tugas berat adalah bagi masyarakat kampus sekelas akademisi dan aktivisnya agar jangan sampai keterlibatan kalian hanya untuk menjaga kepentingan pemerintah padahal sejatinya kalian adalah oposisi sejati yang membela kepentingan rakyat kecil.
Bukan oposisi yang ikut menghabiskan uang pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Kalau masyarakat kampus tidur pulas, maka nurani masyarakat kecil menjadi pintu terakhir untuk menyaring semua dinamika ini. Untuk mengharapkan masyarakat yang cerdas dan sejahtera butuh nurani yang belum mati. Itu artinya masyarakat kota Sorong tidak butuh masyarakat kampus dalam mengawal demokrasi. Ayo tidur yang pulas dan raih kenikmatanmu yang semu. Semoga!
Robertus Nauw adalah Mantan Relawan PSCS Jayapura; Pegiat Media; dan Penulis Buku.
Namun melihat kehidupan masyarakat kampus sebagai masyarakat terdidik dalam membela masyarakat kecil di kota Sorong saat ini sangat menyedihkan dan sungguh sangat ironis, karena telah muncul tendensi-tendensi tertentu yang sudah mencampuri urusan kampus. Salah satunya adalah konteks menyongsong Pemilu atau Pilcaleg 2014 yang menjadi perhatian penulis.
Kampus di kota Sorong hampir sudah tidak lagi menjadi mimbar bebas. Kampus sudah jadi corong pemerintah. Kampus sudah lacurkan intelektual. Yang kita takuti, jangan sampai Perguruan Tinggi sebagai otoritas intelektual, ikut berekspansi ke pasar, bahkan mendorong komersialisasi penididikan, dalam mengikuti dikte kepentingan politik, penguasa maupun pemodalnya sendiri, sehingga transaksi gelap kekuasaan bukan tidak mungkin akan terjadi dengan bebas antara pemodal, pemerintah, politisi bersama akademisi serta aktivisnya pun terjun dalam kongkalikong dan pelacuran intelektual. Mahasiswa terlibat dalam politik hanya sebagai anjing penjaga.
Mau bukti? Lihat saja ada banyak akademisi yang terjun bebas jadi politikus. Ini menunjukkan bahwa jika tidak hati-hati, kampus jelas kelak kehilangan arahnya. Entah kampus dipolitisi atau politisikan kampus, namun yang penulis lihat adalah hal ini akan menjadi ancaman serius jika tidak dilawan oleh aktivis kampus itu sendiri.
Fakta iklim komersialisasi kampus membuat kampus lebih banyak melayani pasar dari pada melakukan inofasi kreatif, kajian, penelitian, tentang hal-hal positif bagi kepentingan masyarakat kecil dan kampus lupa akan panggilan pengabdiannya bagi masyarakat, membuat masyarakat kecil tidak berguna. Masyarakat kecil baru berguna ketika memasuki tahun politik, mereka dihargai dengan ratusan ribu, dihargai dengan beras Bulog perkarung dan indomie, dihargai dengan kalender, payung serta baju-baju partai.
Jelas memalukan bagi masyarakat kampus (akademisi dan aktivis) yang kurang mengontrol ini dengan pendidikan politik, berbasis pengabdian masyarakat. Atau memang kita jangan heran karena hal yang memalukan bagi mahasiswa adalah membiarkan praktek korupsi dan jaringan lingkaran setannya hidup juga di dalam kampus mereka, bahkan koruptor-koruptor besar ada di lingkungan mereka. Namun toh, tetap mereka diam seribu bahasa. Bagaimana mungkin mau jadi pahlawan bagi masyarakat kecil?.
Sangat mengerikan, karena akan membuat bias ke kehidupan yang lain yang barang tentu membuat sikap optimisme masyarakat kampus, menjadi suam bahkan mati suri, toh Golput meningkat di kalangan masyarakat kecil, itu belum termasuk kalangan kampus, jelas ini problem baru bahwa perguruan tinggi di kota Sorong. Dimana mereka telah ikut memberikan andil dalam membiarkan status quo (kekuasaan) kota Sorong ke dalam suatu proses pembiaran yang menuju kehidupan politik yang carut marut.
Padahal dalam filsafat ilmu suatu kesimpulan pernyataan yang dijabarkan harus memenuhi kriteria logis dan telah diuji secara empiris, lalu dianggap benar secara ilmiah. Apa memang semua dinamika politik di kota Sorong, sudah buat logika masyarakat kampus sebengkok itu?
Jelas bahaya, ketika logika mahasiswa sudah dijungkir balik dengan hal-hal yang bukan ilmiah, maka banyak mahasiswa tidak bisa membaca fenomena sosial dan dinamika politik, serta tidak bisa membaca dengan nalar yang sehat, dan pembelokan realitas sudah menjadi konsekuensi logis. Artinya, mereka tidak perlu sekolah mahal-mahal kalau akhirnya jalan pikiran pun sama dengan masyarakat kecil.
Karena iklim demokrasi dan intelektual masyarakat kampus rapuh, maka seluruh kehidupan masyarakat dan bangsa di sekelilingnya siap terguncang dan terancam. Kalau orang pintar (masyarakat kampus) sudah tersesat, siapa lagi yang mau menolong dan menunjuk jalan bagi orang bodoh (masyarakat marginal) di kota Sorong?. Karena mahasiswa sudah kurang kritis sebagai kelompok penekan bersama-sama rakyat.
Ingat: "Rakyat tidak pernah salah kalau rakyat kecil miskin, bodoh, kelaparan, mabuk, dan tidak mampu yang salah bukan masyarakat, melainkan pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif) sebaga pemegang kekuasaan atas masyarakat. Negara dan para pejabatnya yang salah apabila tidak becus memberikan ketenangan hidup, apalagi menjamin masa depan rakyatnya." (Jakob Sumarjo, 2013, hal 7).
Melawan Lupa
Persoalan politik di kota Sorong dalam kontek pendidikan politik kian tidak jelas, yang ada politik memberi ketidakpastian. Lihat saja peristiwa kebakaran pasar sentral Remu Sorong yang bersamaan dengan Pilgub beberapa tahun lalu, kebakaran di lingkungan pasar Boswesen kota Sorong bersamaan dengan Pilkada kota Sorong, bahkan kerususahan yang ditinggalkan politik kian tidak jelas nasibnya. Lihat saja motif terbakarnya kantor Walikota Sorong beberapa tahun lalu.
Bahkan carut marut akibat politik yang ditinggalkan masih segar dalam ingatan kita, yakni antara korupsi dan sentimen politik di kota Sorong terkait dana Rp5 M untuk pelantikan walikota yang murni memainkan peran sentimen politik adalah beberapa kasus yang harus kita tetap berkaca karena menjadi misteri bagi masyarakat kampus yang semestinya berdiri di garda terdepan untuk mengkritisi.
Terlepas dari wacana apakah komisioner KPU kota Sorong kini adalah kambing piaraan elit-elit tertentu masih harus dibuktikan, namun masyarakat jangan lupa dalam konteks tahun politik kali ini, di tinggkat PPD dan PPS banyak hal tidak beres seperti pendataan pemilih masih mengerikan karena orang mati pun mempunyai hak memilih, barangkali itulah makna demokrasi sesungguhnya.
Bahkan dalam kerja Panitia di tingkat PPD dan PPS, kurangnya kajian akan ancaman transaksi penyebaran jumlah suara pemilih oleh caleg-caleg tertentu dengan melibatkan panitia PPD dan PPS, Kadis, Lurah, RT dan RW untuk memuluskan target mereka sebagai Anggota DPRD kota Sorong adalah hal yang sudah pasti terjadi, toh tetap masih biarkan sebagai suatu kelaziman.
Harapan penulis semoga tahun politik kali ini tidak menjadi tahun yang kelam dalam dunia perpolitikan kita, seperti yang ditakuti oleh pemberitaan RRI Sorong, menilai hasil survei atas realita ini. Maka wajib kita semua bergerak merangkul baik pemerintah, eksekutif, yudikatif, LSM, masyarakat kecil dan yang menjadi tugas berat adalah bagi masyarakat kampus sekelas akademisi dan aktivisnya agar jangan sampai keterlibatan kalian hanya untuk menjaga kepentingan pemerintah padahal sejatinya kalian adalah oposisi sejati yang membela kepentingan rakyat kecil.
Bukan oposisi yang ikut menghabiskan uang pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Kalau masyarakat kampus tidur pulas, maka nurani masyarakat kecil menjadi pintu terakhir untuk menyaring semua dinamika ini. Untuk mengharapkan masyarakat yang cerdas dan sejahtera butuh nurani yang belum mati. Itu artinya masyarakat kota Sorong tidak butuh masyarakat kampus dalam mengawal demokrasi. Ayo tidur yang pulas dan raih kenikmatanmu yang semu. Semoga!
Robertus Nauw adalah Mantan Relawan PSCS Jayapura; Pegiat Media; dan Penulis Buku.
Sumber: MAJALAH SELANGKAH
0 Response to "Masyarakat Kampus Tidur di Tahun Politik"
Post a Comment