Source: Jubi |
Yogyakarta, RUANGKEBEBASAN - 19 Maret 2014, Dewan HAM PBB kembali melakukan Expert Meeting, sebagaimana tradisi yang biasa dilakukan dalam setiap sidang Dewan HAM PBB (UNHRC), sebuah pertemuan guna memperluas penggunaan standar Internasional Hak Asasi Manusia yang lebih efektf.
Masyarakat Adat menjadi topik dalam pertemuan yang dihadiri oleh Dr. Olav Fykse, SG (WCC), Amb. Luis Alfonso de Alba (Mexico), John Henriksen (Norway), Penny Parker (Advocates fo Human Right), Perwakilan Dewan HAM PBB, David Matthey-Doret (DOCIP), Suhas Chakma, ACHR (India) dan Ngawang Drakmargyapon. Pertemuan ini pun didukung langsung oleh Dewan HAM PBB, Switzerland, Norwegia, Mexico, serta Dewan Gereja-Gereja yang berpusat di Genewa, Swiss.
Dalam pertemuan ini juga dibahas mengenai situasi Masyarakat Adat di Papua. Dalam hal ini, aktivis Papua Barat Jeffrey Bomay yang ikut dalam pertemuan resmi ini melaporkan sekitar 18 pertanyaan menyangkut Papua.
Seperti yang dilangsirkan di Tabloid Jubi, Salah satunya adalah pertanyaan dari perwakilan Norwegia yang menanyakan soal sejarah Papua Barat, khususya mengenai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 yang tidak pernah diterima oleh masyarakat Papua.
"Saya katakan PEPERA harus diuji secara hukum internasional karena dilakukan dalam keadaan Papua sudah dianeksasi oleh Indonesia. PEPERA dilakukan pada tahun 1969 kontrak pertambangan PT. Freeport sudah dilakukan pada 1969, dua tahun sebelum pelaksanaan PEPERA 69. Inilah akar masalah yang membuat rakyat Papua tetap menolak hasil PEPERA itu. Pelaksanaannya jua tidak mematuhi prosedus internasional bahwa satu orang satu suara, tetapi Indonesia mengubah itu dengan tekanan militer sehingga yang memilih hanya 1025 orang saja." kata Bomay.
Perwakilan dari Srilanka dan Norwegia juga menanyakan soal Otonomi Khusus di Papua, yang dikatakan Rakyat Papua sebagai solusi diskriminatif.
"Saya berikan gambaran pada mereka bahwa Otonomi Khusu telah menghadirkan 60 kabupaten di Papua dan akan bertambah lagi 12 juka Daerah Otonomi Baru disetujui oleh DPR RI. Ini tidak masuk akal bagi penduduk Papua yang hanya berjumlah 3,6 juta dengan populasi masyarakat asli Papua sekitar 1,2 juta jiwa saja." ujar Bomay.
Bomay juga menambahkan ini memberikan peluang bagi penduduk Indonesia lainnya untuk masuk ke Papua, karena pemekaran daerah akan membutuhkan banyak Sumber Daya Manusia (SDM). Sementara masyarakat asli Papua sendiri belum dipersiapkan untuk pemekaran-pemekaran ini.
Bomay, dalam kesempatan yang diberikan kepadanya lebih menekan soal pembunuhan di Timika, penangkapan terhadap ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus, Filep Karma, dan Victor Yeimo, dan penyisiran terhadap masyarakat sipil di Puncak Jaya. Jua isolasi Papua dari perhatian Internasional.(Hugo/RK)
0 Response to "Jeffrey Bomay: 18 Pertanyaan untuk Papua. Dalam Expert Meeting di Genewa 19 Maret"
Post a Comment