Moskow (ANTARA
News) - Rusia, mantan pemimpin Ukraina, pada Rabu mengecam campur tangan
luar dalam urusan tetangganya itu dan menuduh lawan bengis Presiden
Viktor Yanukovych secara kasar melanggar undang-undang dasar.
"Pemerintah sah Ukraina menghadapi campur tangan luar dalam urusan dalam negerinya," kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Grigory Karasin kepada Interfax, mengacu pada sejumlah pernyataan Amerika Serikat dan Eropa Bersatu, lapor AFP.
"Unsur keras lawan secara kasar melanggar undang-undang dasar negara itu," tambahnya, "Perlu menemukan keputusan, yang memulihkan keadaan."
"Yang terjadi tidak dapat disebut alur umum politik," tambah diplomat Rusia itu.
Setidak-tidaknya, dua pegiat tertembak mati pada Rabu ketika polisi Ukraina menyerbu perintang pengunjukrasa di Kiev, korban tewas pertama dalam dua bulan unjukrasa menentang pemerintah.
Komisi Eropa memperingatkan Ukraina akan kemungkinan tindakan atas kekerasan itu.
Amerika Serikat mencabut visa beberapa warga negara Ukraina terkait kekerasan terhadap pengunjukrasa pada akhir tahun lalu dan pada Rabu menyatakan mempertimbangkan "tindakan lebih lanjut" atas bentrokan itu.
Kejadian pada Rabu itu menandai puncak baru ketegangan sesudah dua bulan unjukasa atas keputusan Yanukovych menyingkirkan perjanjian kerjasama dengan Eropa Bersatu pada November.
Pada Desember, Rusia menghadiahi pemerintah Ukraina untuk sikap itu dengan menyetujui menanamkan 15 miliar dolar Amerika Serikat (150 triliun rupiah) pada surat berharga pemerintah negara bekas Soviet tersebut dan memotong harga pasokan gas alamnya.
Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut unjukrasa itu lebih seperti penghancuran daripada revolusi.
Perdana Menteri Ukraina Mykola Azarov mengisyaratkan pemerintah tidak memikirkan kompromi, karena kelakuan kejam pengunjukrasa.
"Sinisme dan sikap tidak bermoral teroris itu mencapai puncak dengan melemparkan bom Molotov ke banyak orang," katanya dalam sidang kabinet.
Di tengah-tengah kekhawatian antarbangsa, kepala kebijakan luar negeri Eropa Bersatu Catherine Ashton pada Rabu mendesak penghentian segera kekerasan meningkat itu.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pada Selasa memperingatkan bahwa keadaan di Ukraina berada di luar kendali sesudah dua bulan unjukrasa.
Penerjemah: Boyke Soekapdjo
"Pemerintah sah Ukraina menghadapi campur tangan luar dalam urusan dalam negerinya," kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Grigory Karasin kepada Interfax, mengacu pada sejumlah pernyataan Amerika Serikat dan Eropa Bersatu, lapor AFP.
"Unsur keras lawan secara kasar melanggar undang-undang dasar negara itu," tambahnya, "Perlu menemukan keputusan, yang memulihkan keadaan."
"Yang terjadi tidak dapat disebut alur umum politik," tambah diplomat Rusia itu.
Setidak-tidaknya, dua pegiat tertembak mati pada Rabu ketika polisi Ukraina menyerbu perintang pengunjukrasa di Kiev, korban tewas pertama dalam dua bulan unjukrasa menentang pemerintah.
Komisi Eropa memperingatkan Ukraina akan kemungkinan tindakan atas kekerasan itu.
Amerika Serikat mencabut visa beberapa warga negara Ukraina terkait kekerasan terhadap pengunjukrasa pada akhir tahun lalu dan pada Rabu menyatakan mempertimbangkan "tindakan lebih lanjut" atas bentrokan itu.
Kejadian pada Rabu itu menandai puncak baru ketegangan sesudah dua bulan unjukasa atas keputusan Yanukovych menyingkirkan perjanjian kerjasama dengan Eropa Bersatu pada November.
Pada Desember, Rusia menghadiahi pemerintah Ukraina untuk sikap itu dengan menyetujui menanamkan 15 miliar dolar Amerika Serikat (150 triliun rupiah) pada surat berharga pemerintah negara bekas Soviet tersebut dan memotong harga pasokan gas alamnya.
Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut unjukrasa itu lebih seperti penghancuran daripada revolusi.
Perdana Menteri Ukraina Mykola Azarov mengisyaratkan pemerintah tidak memikirkan kompromi, karena kelakuan kejam pengunjukrasa.
"Sinisme dan sikap tidak bermoral teroris itu mencapai puncak dengan melemparkan bom Molotov ke banyak orang," katanya dalam sidang kabinet.
Di tengah-tengah kekhawatian antarbangsa, kepala kebijakan luar negeri Eropa Bersatu Catherine Ashton pada Rabu mendesak penghentian segera kekerasan meningkat itu.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pada Selasa memperingatkan bahwa keadaan di Ukraina berada di luar kendali sesudah dua bulan unjukrasa.
Penerjemah: Boyke Soekapdjo
Editor: B Kunto Wibisono
0 Response to "Rusia Tidak ingin Perang Dengan Ukraina"
Post a Comment